Selasa, 04 Mei 2021

MODEL POLA ASUH "GOOD PARENTING"


MODEL POLA ASUH  “GOOD 

PARENTING” ORANGTUA 

DENGAN ANAK DISABILITAS

(Oleh : QUDSI AMIN, M. pd dan ROKHIMAH M.Pd)


Setiap anak memiliki hak, kewajiban dan kesempatan serta peran yang sama dalam segala aspek kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan. Tidak terkecuali anak dengan disabilitas mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan pendidikan dan hak-hak lainnya, mereka juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak guna membantu mewujudkan mimpi-mimpinya kelak di masa depan. 

Pengasuhan yang baik akan menghasilkan anak dengan disabilitas dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan hak mereka sehingga dapat berfungsi secara sosial. Perlunya edukasi akan fungsi keluarga yang harus dipenuhi yaitu afeksi, keamanan, identitas, afiliasi, sosialisasi serta kontrol harus diberikan orangtua kepada anak penyandang disabilitas Menurut model Cunningham (Cunningham’s model of psychic crisis) terdapat berbagai emosi dan reaksi orang tua dengan kehadiran anak yang cacat dengan beberapa tahapan, yaitu fase terkejut (shock phase), fase bereaksi (reaction phase), dimana orangtua merasakan kecemasan dan gagal dalam mengasuh anak, kemudian memberikan pengasuhan anak mereka kepada orang lain/orang  yang ahli, fase penyesuaian (adaptation phase), pada tahap ini orang tua secara realistik mulai menerima kondisi anak dan yang terakhir fase orientasi (orientation phase), orangtua mulai mengorganisasi pikiran dan perasaannya sendiri dan melaksanakan program yang disarankan serta membuat rencana masa depan bagi anaknya yang disabilitas. 


Dukungan sosial berpengaruh terhadap anak berkebutuhan khusus dalam membuat anak tersebut tidak merasa berbeda dari anak normal. Support, motivasi, semangat serta penghargaan bagi mereka sangat mempengaruhi psikis anak, dampaknya anak semakin yakin akan potensi yang ada dalam dirinya. Anak dengan disabilitas harus mempunyai pengasuhan yang baik sejak usia dini karena merupakan tahapan usia keemasan (Golden Age). Sehingga anak dapat dikembangkan potensinya yang luar biasa terutama dari orangtua anak. Karena apabila pada masa ini tidak memperoleh rangsangan-rangsangan yang tepat maka anak akan mengalami kesulitan pada masa-masa perkembangan berikutnya (Dinar W. 2008). 


Penelitian yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan pola asuh good parenting anak dengan disabilitas di jember menghasilkan bahwa adanya motivasi positif serta pendampingan secara langsung yang dilakukan oleh orang tua beserta dukungan anggota keluarga yang lain terhadap anak disabilitas sehingga mampu memotivasi terhadap anak disabilitas tersebut untuk bisa bermain tanpa rasa canggung dengan teman sebanyanya yang tidak disabilitas. Walaupun seperti pada pengakuan para orang tua bahwa rasa takut dan khawatir yang dirasakan orang tua itu selalu ada pada awalnya, akan tetapi karena adanya kesadaran dan keinginan kuat orang tua agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang sama dengan anak pada umumnya, maka perasaan tersebut harus dilawan dengan memberi kepercayaan terhadap anaknya yang disabilitas tersebut. Selain itu para guru tempat anak disabilitas bersekolah juga selalu memberikan pemahaman bahwa mereka “anak disabilitas tersebut” sama dan tidak ada perbedaan yang harus membuat mereka malu bermain dengan temannya yang lain. Selain itu para guru juga selalu  memberikan pengertian kepada siswa lain yang tanpa disabilitas untuk selalu mengajak bermain terhadap anak disabilitas tersebut tanpa membeda-bedakan serta selalu mendukung terhadap permainan yang dilakukannya secara bersama-sama bahwa tidak harus selalu pertolongan fisik yang mereka butuhkan, menanamkan rasa percaya diri jauh lebih penting untuk ditumbuhkan pada anak disabilitas. Hal ini membutuhkan peran orang tua sebagai orang terdekat yang dapat terus memotivasi anak serta peran guru sebagai orangtua kedua di sekolah tempat anak disabilitas tumbuh dan berkembang.

Adapun upaya untuk menumbuhkan rasa percaya diri ini dilakukan dengan cara tanamkan bahwa kesempurnaan bukan segala-galanya, yakinkan bahwa setiap manusia memiliki potensi masing-masing, hindari terlalu mengendalikan anak disabilitas, sebagai orang tua harus selalu mendukung anak agar berkembang serta harus mampu mengendalikan kecemasan dan kehawatiran diri terhadap apa yang dilakukan anak, memberi kebebasan anak dalam beraktivitas dan dan menyelesaikan tugasnya sendiri sejak dini, tetapi tetap dalam pengawasan,  memberikan dorongan yang intens, agar anak merasa lebih percaya diri dan terdorong untuk melakukan yang terbaik, fokus pada proses yang dilakukan anak, bukan apa yang dihasilkan anak dan memberikan pujian dan berempati terutama ketika anak disabilitas sedang frustrasi, karena dengan empati akan mampu membantu anak disabilitas melewati masa-masa sedihnya. 

Dari beberapa pola asuh yang ada, pengasuhan secara demokratis merupakan pengasuhan yang lebih tepat apabila diterapkan oleh orangtua terhadap anaknya yang disabilitas, karena akan mampu menjadikan anak tersebut beraktifitas dan mandiri dalam kegiatan atau aktifitasnya bersama teman-temannya yang tidak disabilitas. Karena dalam sistem pola asuh demokratis aspirasi setiap individu terakomodasi dengan baik sehingga setiap individu dihormati sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Selain itu sistem pola asuh demokrasi juga mengajarkan kepada para anak dan anggota keluarga  yang lain bahwa hak dan kewajiban setiap individu harus dihargai dan dihormati sebagaimana mestinya, sehingga setiap orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. 

Terdapat beberapa cara yang dilakukan orang tua untuk memberikan dorongan positif demokratis pada anak, di antaranya adalah memperlihatkan kepercayaan, membangun respek diri atau tidak membanding-bandingkan, menghargai usaha dan perbaikan, fokus pada kekuatan atau kelebihan yang dimiliki anak dan selalu memiliki rasa humor. Kunci menjadi orang tua dengan anak yang disabilitas adalah dengan menjaga hubungan yang harmonis, terbuka, saling respek, empati dan berdasarkan kasih sayang.


Sehingga pola asuh orangtua secara demokratis terhadap anaknya yang disabilitas akan mampu menjunjung keterbukaan, pengakuan terhadap pendapat anak, dan kerjasama. Anak diberikan kebebasan, namun kebebasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ia diberikan kepercayaan untuk mandiri tetapi tetap dalam pengawasan. Dan yang tidak kalah penting yaitu lakukan semuanya itu dengan rasa kasih sayang bukan karena kasihan.


Tidak ada komentar: